Langsung ke konten utama

Senja Terakhir

"Kita mau kemana?"tanyaku.

"Entahlah."jawabmu seadanya.

Kamu begitu terlihat pendiam belakangan ini. Bingung lebih tepatnya. Selalu lelah yang menjadi korban setiap kali kutanyakan arti diammu itu. Dan aku pun hanya bisa menyerah. Sungguh, bukan dirimu yang biasa. Kupikir, biarlah, mungkin memang sedang ada pekerjaan berat yang merusak suasana hatimu. Mungkin, sabtu ini, di hari rutinitas pertemuan kita, kamu sudah kembali segar. Tapi harapanku buyar, kamu masih setia dengan rasamu sendiri. Seperti diriku yang sibuk berpikir, apa yang membayangi hari-harimu seminggu ini?

"Kamu kenapa sih, belakangan banyak diam?"tanyaku acuh.

Ada yang tak kumengerti. Dirimu memang menyetir mobil ini dengan konsentrasi penuh tapi aku merasa, kamu benar-benar tidak bersamaku.

"Bay! Kamu dengerin aku gak?"tanyaku dengan nada lebih keras.

"Hmm?"

"Iya, kamu dengerin aku gak sih, sayangku?"kurengkuh wajahnya menghadapku. Dan hening merajut matanya. Ada kepedihan yang belum nyata disana. Dan aku begitu ingin memeluknya. Tapi amarahku masih menguasai dan hening merajai sore ini.

Sementara mobil ini terus melaju tanpa pernah ku ingin tahu kemana ingin kamu bawa pergi.

***

"Kita dimana, Bie?". Ternyata tak sadar aku terlelap dalam tidur dan terbangun oleh sentuhan tangan kamu. Kamu menggenggam erat tanganku. Meski tanpa melihatku, aku tahu, ada rasa takut kehilangan disetiap gerakannya.

"Mataharinya indah, ya?" katamu. Lalu kamu menoleh padaku dan memberikan senyum yang sudah kunantikan sejak kau bertapa dalam diammu. Kaca mobil perlahan terbuka. Dan angin pantai ini berhembus seakan menyanyi beriring dengan suasana hatiku yang mulai terkembang.

"Jadi, kamu sengaja ngediemin aku cuma karena mau buat kejutan hari ini?"

Dan senyumanmu kembali merekah. Tapi ada sedikit getir disana. Wajahmu perlahan tertunduk seakan kau menolak ombak-ombak di depan kita yang mengajak menari. Genggamanmu semakin kuat. Tarikan nafasmu menyimpan luka.

Disaksikan angin, matahari sore dan ombak yang menari, aku memelukmu secepatnya ketika kulihat luka mulai menjadi airmatamu. Dirimu yang awalnya meragu, mulai membalas pelukan itu dengan segukan tangis yang lama kelamaan membanjiri bahuku.

"I'm not going anywhere, Bay."coba redakan dirimu yang kalut.

"I...Know..."sahutmu terbata-bata.

"Kamu kenapa, Bay?"

"Aku gak mau kehilangan kamu."

"You wont! Hey, my little baby, I'm here."

"But, I...will.."

"Will, what?"

"I will leave you soon."

"Well, you will come back for me, right?"

Kamu terdiam.

"Bie, wont you? You will come back for me, right?"

Hening. Dan tangismu terhenti.

"I wont come back."

"Why?"

"I will marry soon. Orang tuaku sudah menemukan seseorang yang katanya pantas buatku...."ceritamu mengalir tenang. Dan sekejap dunia pikirku melayang entah kemana. Sayup-sayup saja kudengar ceritamu. Lalu lukamu tadi mulai merayap jelas ke jiwaku. Tanpa sadar, kali ini, giliranku membasahi bahumu. Perpisahan itu benar-benar ada rupanya. Dan aku mengerti, betapa sulit bagimu mengungkapkannya. Betapa susahnya kamu menyimpan semua ini. Mana yang harus kamu ikuti, hatimu yang mencintaiku atau rasa hormatmu pada mereka yang pun begitu menyayangimu. Menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Meskipun standar itu terlalu kaku, norma-norma yang mengikat. Menikahlah dan dirimu akan bahagia. Padahal kebahagiaan hanya terletak pada hati yang merdeka. Bukan sesuatu yang dipaksakan. Dan mungkin, hanya sebagian orang yang bisa terbuka sementara selebihnya, tetap bersedia menjadi budak norma demi harga kehormatan yang sudah dibeli ratusan tahun lalu.

Sayangku, jika begini jadinya. Semudah itukah, aku memaafkan orangtuamu? Memaafkan masa depan yang mengkhianati perasaan kita? Lalu, siapa yang akan memelukku saat senja mulai menguning dan malam begitu pekat menghantui?

Aku kembali menyerah saja kiranya. Biar menjadi mudah semuanya. Seperti janji kita pada awal bertemu. Kita boleh jatuh cinta dan saling memintal benang bahagia menjadi pakaian yang menghangatkan kala dingin, menyejukkan kala panas menyerang. Namun harus siap, ketika pakaian harus kita lepaskan, saat kewajiban sebagai anak mulai menuntut. Membuat bahagia orangtua kita. Dan kita lepaskan lalu kita simpan baik-baik dalam koper masa lalu. Ah, bisakah? Sekarang? Entahlah, aku benar-benar menyerah.

Lalu senja sudah turun, ombak-ombak sudah menghitam dan matahari sedang tak ingin bermain. Perlahan pergi meninggalkan sore dan kita yang semakin terbakar kesunyian.

****

"Bie?"diamku siang tadi menjalar kedirimu. Argh! Aku tahu, seharusnya tidak ku katakan hal ini. Toh, kalau pun memang mama akan segera memajukan rencana tunangan itu, yang perlu aku lakukan adalah cukup menghilang saja. Tidak seperti ini! Melihatmu ikut menangis. Dan buat apa tadi aku menangis?!! Argh, bodohnya diriku. Satu-satunya yang kusayangi dalam sadarku harus menangis di bahuku. Satu lagi luka. Tidak hanya diriku tapi dirimu. Kurebahkan kepalamu di bahuku. Tidak kuasa kulihat mata itu.

"Menikahlah."ujarmu memecah sepi.

"Maafkan aku."

"No. Kamu gak perlu ngomong gitu. Sooner or later, kita pasti berpisah."

Hening.

"Dan kamu, kamu sudah tepat memilih tempatnya. Pantai ini akan segera aku lupakan. Segera."kamu perlihatkan senyummu tulus namun penuh luka disana.

"Maafkan, maafkan aku." pelukku tambah erat dan tangis kembali mewarnai malam yang semakin sunyi.

***

"Bay, selamat ya. Bulan apa? Calon suamimu orang mana? Kok aku gak pernah lihat?"Rama menyapa dirimu dan aku begitu jelas mendengarnya di sudut ruang kantor itu. Sekilas pula kulihat, kau begitu ragu menjawabnya karena kau menangkap diriku yang diam menatap kalian. Dan aku hanya bisa tersenyum dan anggukanku melegakanmu. Kuacuhkan dirimu dan Rama dengan berpura-pura sibuk dengan kertas-kertas kerja di depanku. Lalu sedikit kuintip kembali, kalian sudah larut dalam percakapan.

"Bie...?"panggil Rama padaku mendekatiku.

"Ya, kenapa Ram? Lo goda-godain lagi ya anak orang? Udah mau nikah dia."ucapku.

"Hahaha..Iya nih, gue telat ngedeketinnya."

"Hahaha...ada-ada aja elu sih."

"Ah, gue sih santai. Kan ada elu, Bie. Lo belum punya calon suami, kan? Lo masuk kategori gue lah. Cantik, pintar.Gimana?"

Dan aku hanya bisa tersenyum melihat Rama berusaha menggodaku. Bergantian, aku menangkapmu sedang menatap ke arahku. Senyum yang sepi dan kita berdua terpenjara didalamnya selama apa yang kita inginkan. Ah, aku mencintaimu.

apa yang menarik hati?

selain matamu dalam teduh gerimis

menyejukkan api rindu malam tadi

yang tersisa dengan sedikit kecupan

dan beribu masa lalu tersimpan

sehembus nafas, kita lemparkan senyum

di ujung simpul merona wajahmu

ah, sayangku, apa lagi yang harus kuminta?

melihatmu adalah surga menghijau dalam balutan pagi yang sepi

ah, indahnya dalam pelukan cinta

yang bersamanya bunga begitu merah menggoda

yang darinya dunia hanya milik berdua

aku dan kau saja dalam sebuah rahasia.

ya. rahasia kecil kita.

dan, semua harus segera berlalu

untuk selamanya.

******

Bogor, 19 September 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

move on

hi dear you, move on, we're not seventeen, miley said. mungkin sudah terlalu banyak cerita yang tidak pernah kita bagi bersama. mungkin rindu kita juga sudah tidak pernah dalam gelombang yang sama. sedih sih. tapi kita memang harus berpindah. things getting toxic now. we only hurt each other. and i just realized, there will be so much good thing come up when we are not together. amen for it. and i know, i know deeply, you will be okay without me and so will i. let our memories become memories. a good one definitely. i love you and will always be. i already forgive myself to let this thing go. let's have another good circle of life. for now and the other future if we met again. xoxo -meh-

Makan Malam Menu Terong Balado

tentang hidup. semua mengalir begitu saja hingga hari ini. hampir 3 tahun tanpa mama dan papa. mengalir begitu saja.  yang terlintas malah tentang makan malam bersama berpuluh tahun lalu. menu favoritku, terong balado, doa sebelum makan kubacakan, tentunya mama dan papa. tradisi makan malam ini entah kapan mulai tidak berjalan, sepertinya ketika papa mulai sering kerja di luar daerah, sering tidak pulang entah berapa hari kemudian. sering kutanyakan setiap kali dia telepon, kapan papa pulang? papa, selalu jadi pria pertama yang kuposesifkan bahkan hingga hari ini. yah, kurasa sejak saat itu, sejak kami pindah juga ke jalan yang baru. berjalan waktu, aku dan mama pindah terlebih dahulu ke bogor sementara papa masih jauh di sebrang pulau. setahun setelahnya baru papa bergabung bersama, namun aku sudah tenggelam dalam umur pubertas, pulang selalu malam, sibuk extrakurikuler, kemudian kuliah di luar kota, kemudian kerja di luar kota dan semakin tidak pernah ada acara makan malam itu. kalau

tentang pergi yang sepi

yang pergi dalam 2 minggu ini ada dua orang dekat yang meninggal. yang satu adik perempuan mama dan satu lagi saudara jauh yang sempat tinggal di belakang rumah. 2 tahun berturut-turut, selalu dengan kepergian orang-orang. mulai dari mama, papa, umi enong dan mamih. orang-orang berbeda. ketika sudah sedikit reda ditinggal mama disusul papa satu tahun kemudian. berlanjut 2 lagi pada tahun yang sama, seperti menarik kembali perasaan yang tentang kehilangan, kepergian dan kesepian. i am typical of person that never know how to have a good cry. i mean like channeling it into right, beautiful direction. moreover, i always pretend those grieving things never happened. perhaps, cause i used to have myself as a loner therefore this kind of feeling like so familiar. no friend to talk at home/room, only chatting via med-soc, wondering, day-dreaming, sleeping, eating, having fight with my girl and it will fulfill my day to day. Yet, there was a point, a lowest one when suicide cross my mind